Senin, 31 Desember 2012

Pendampingan Psikologis: Mitos-Mitos Salah Tentang Difabel

Sampai saat ini difabel atau penyandang disabilitas masih sering dipandang sebelah mata oleh sebagian orang. Akibatnya seringkali difabel diperlakukan dengan salah. Hal ini tak lain karena masih adanya mitos-mitos (anggapan salah) yang melekat pada difabel.

Mitos-mitos yang melekat pada difabel antara lain:
  • Bahwa difabel sepenuhnya bergantung pada orang lain. Akibatnya, difabel seringkali tidak dimandirikan atau dibuat benar-benar bergantung, dan diberi belas kasihan yang berlebihan   
  • Bahwa difabel harus dikasihani. Akibatnya difabel sering di-identikan sebagai penerima santunan/sumbangan       
  • Difabel dianggap tidak berguna. Karena anggapan yang pesimistis seperti ini, ada sebagian keluarga yang enggan untuk menyekolahkan atau memberi bekal ketrampilan kepada anak-anak mereka yang difabel     
  • Difabilitas seringkali dianggap sebagai kutukan. Akibatnya, keluarga merasa malu jika memiliki anak difabel, sehingga perlu disembunyikan dan dijauhkan dari lingkungan sosial pergaulan     
  • Menjadi atau memiliki anak difabel adalah sebuah takdir yang pahit, karena itu seringkali disesali       
  • Bahwa hidup sebagai difabel adalah tidak berharga   
  • Difabel dianggap tidak dapat bekerja. Masih banyak penyedia lapangan pekerjaan atau perusahaan yang enggan mempekerjakan difabel       
  • Difabel dianggap tidak dapat berkeluarga dan tidak dapat menjadi orang tua yang baik. Masih banyak orang yang memilih untuk tidak menikah dengan difabel      
  • Difabel sering dianggap asexual       
  • Difabel selalu membutuhkan pengobatan dan bantuan dari professional medis     
  • Difabel membutuhkan program pendidikan yang khusus dan terpisah (eksklusi)      
  • Orang dengan disabilitas intelektual hanya seperti anak kecil dan tidak dapat membuat keputusan untuk dirinya sendiri     
  • Difabel sering dianggap bodoh, sehingga diperlakukan seperti anak kecil.
Mitos-mitos tersebut telah menstimulasi perlakuan yang tidak rasional terhadap difabel, yang pada akhirnya menjadikan hak-hak difabel terlanggar. Demikian diungkapkan Dr. Khoirudin Bashori, M.Si dalam acara workshop Optimalisasi Potensi Difabel Tuna Rungu Melalui Pendekatan Psikologis beberapa waktu lalu di aula kelurahan Tamantirto Kasihan Bantul.

Workshop Optimalisasi Potensi Difabel Tuna Rungu Melelui Pendekatan Psikologis ini adalah bagian dari program Pendampingan Psikologis bagi Penyandang Tuna Rungu Wicara. Dalam program ini CIQAL bekerja sama dengan Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta.

Workshop ini diikuti oleh semua Pekerja Lapangan (PL) serta Staf CIQAL serta beberapa orang pendamping yang selama ini menjadi trainer dalam Program Pendampingan Pengajaran Baca Tulis dan Komunikasi bagi Penyandang Tuna Rungu wicara. Dengan kata lain, workshop ini adalah bekal untuk melakukan pendampingan terhadap beneficiaries. Bagaimanapun juga anggapan yang salah dan perlakuan yang salah terhadap difabel banyak menimbulkan masalah psikologis bagi difabel itu sendiri.

Dalam beberapa bulan ini, tim CIQAL dan tim dari Fakultas Psikologi UAD akan memberikan pendampingan psikologis kepada penyandang Tuna Rungu Wicara di 10 kecamatan di kabupaten Bantul.