Perempuan disabilitas hingga kini
masih mendapat perlakuan tidak adil. Kasus pelecehan seksual yang menimpa
perempuan disabilitas selama ini sering tidak sampai ke meja hijau. Tekanan
dari pihak pelaku atau lingkungan masyarakat yang tidak mendukung sering
menjadi sebab kasus tidak berlanjut. Bahkan sering kasus-kasus tersebut sengaja
ditutup oleh pihak keluarga sendiri, dengan alasan malu. Demikian pengantar
dari Nuning Suryatiningsih, Direktur CIQAL, saat menyampaikan pengantar
Sarasehan ‘Menguak Tabir Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Disabilitas’ di
kantor CIQAL, Jambon, Sleman (10/12/20013).
Sarasehan ini dilakukan dalam
rangka memperingati Hari Internasional Penyandang Disabilitas, Hari HAM (Hak
Asasi Manusia) , sekaligus memperingati 16 Hari anti Kekerasan Terhadap
Perempuan. Acara menghadirkan narasumber Wakil Bupati Sleman, Yuni Satia
Rahayu, SS, M.Hum; Dekan FH UAJY, Sari Murti Dewi , SH, M.Hum, dan Komisioner
Komnas Perempuan, Andi Yetriani.
Menurut Andi Yetriani, tiap 2 jam
ada 3 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Bahkan rumah pun belum tentu
aman bagi perempuan, karena kekerasan itu seringkali terjadi di ranah privat
atau rumah. Dan pelaku kekerasan terhadap perempuan biasanya mempunyai
kekuasaan terhadap korbannya.
Ada beberapa hal yang menjadi
latar belakang timbulnya kekerasan terhadap perempuan, antara lain status
perkawinan, agama, ras, bahkan tubuhnya (disabilitas atau bukan). Bahkan yang
menyedihkan, UU perkawinan menyebutkan ‘cacat permanen’ sebagai salah satu
alasan untuk poligami.
Menurut Dekan FH UAJY, Sari Murti
Dewi, semua manusia mempunyai derajat yang sama, tidak boleh ada diskriminasi
atas dasar disabilitas. Penyandang disabilitas mempunyai hak yang sama untuk
mendapatkan perlakuan yang adil dan untuk mendapatkan kepastian hukum. Kekerasan
yang dialami perempuan disabilitas mempunyai relasi dengan kekuasaan dan budaya
dimana subordinasi laki-laki begitu melekat. Supaya kekerasan tidak terjadi
perempuan perlu merubah pola pikirnya, demikian juga dengan laki-laki.
Kekerasan yang sering dialami
oleh perempuan disabilitas adalah perkosaan dan pencabulan. Di DIY sudah ada
FPKK (Forum Perlindungan korban Kekerasan) yang merupakan forum koordinasi
perlindungan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang penanganannya dilakukan
secara berjejaring. Maka jika terjadi kekerasan seksual, bisa segera bawa
korban ke rumah sakit dan hubungi FPKK dan FPKK-lah yang akan menghubungi
polisi. Lalu polisi akan memerintahkan untuk dilakukan visum. Dan biaya visum
ini ditanggung pemerintah.
Sarasehan tersebut menghasilkan
beberapa poin:
- Persoalan kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas bukan hanya persoalan kaum disabilitas, namun adalah persoalan bersama, antara penyandang disabilitas, pemerintah, dan masyarakat
- Perlu adanya rekonstruksi pola pikir masyarakat yang selama ini subordinatif
- Perlu penyadaran yang terus-menerus terhadap perempuan disabilitas (karena seringkali perempuan disabilitas tidak tahu bahkan tidak sadar kalu dirinya menjadi korban)
- Jika ada kasus kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas, perlu dilakukan pengawalan yang sungguh-sungguh, agar kasusnya tidak berhenti di jalan
- Ada beberapa pekerjaan rumah yang perlu untuk ditindaklanjuti, yakni perlu adanya pelatihan terhadap penyidik terkait disabilitas termasuk cara komunikasi, perlu adanya sebuah hukum (regulasi) yang mengatur secara tegas tentang kekerasan terhadap disabilitas, dan juga perlu adanya saksi ahli yang benar-benar mengerti akan disabilitas.
P