Rabu, 11 Desember 2013

Menguak Tabir Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Disabilitas



Perempuan disabilitas hingga kini masih mendapat perlakuan tidak adil. Kasus pelecehan seksual yang menimpa perempuan disabilitas selama ini sering tidak sampai ke meja hijau. Tekanan dari pihak pelaku atau lingkungan masyarakat yang tidak mendukung sering menjadi sebab kasus tidak berlanjut. Bahkan sering kasus-kasus tersebut sengaja ditutup oleh pihak keluarga sendiri, dengan alasan malu. Demikian pengantar dari Nuning Suryatiningsih, Direktur CIQAL, saat menyampaikan pengantar Sarasehan ‘Menguak Tabir Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Disabilitas’ di kantor CIQAL, Jambon, Sleman (10/12/20013). 

Sarasehan ini dilakukan dalam rangka memperingati Hari Internasional Penyandang Disabilitas, Hari HAM (Hak Asasi Manusia) , sekaligus memperingati 16 Hari anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Acara menghadirkan narasumber Wakil Bupati Sleman, Yuni Satia Rahayu, SS, M.Hum; Dekan FH UAJY, Sari Murti Dewi , SH, M.Hum, dan Komisioner Komnas Perempuan, Andi Yetriani.

Menurut Andi Yetriani, tiap 2 jam ada 3 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Bahkan rumah pun belum tentu aman bagi perempuan, karena kekerasan itu seringkali terjadi di ranah privat atau rumah. Dan pelaku kekerasan terhadap perempuan biasanya mempunyai kekuasaan terhadap korbannya.

Ada beberapa hal yang menjadi latar belakang timbulnya kekerasan terhadap perempuan, antara lain status perkawinan, agama, ras, bahkan tubuhnya (disabilitas atau bukan). Bahkan yang menyedihkan, UU perkawinan menyebutkan ‘cacat permanen’ sebagai salah satu alasan untuk poligami.

Menurut Dekan FH UAJY, Sari Murti Dewi, semua manusia mempunyai derajat yang sama, tidak boleh ada diskriminasi atas dasar disabilitas. Penyandang disabilitas mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan untuk mendapatkan kepastian hukum. Kekerasan yang dialami perempuan disabilitas mempunyai relasi dengan kekuasaan dan budaya dimana subordinasi laki-laki begitu melekat. Supaya kekerasan tidak terjadi perempuan perlu merubah pola pikirnya, demikian juga dengan laki-laki. 

Kekerasan yang sering dialami oleh perempuan disabilitas adalah perkosaan dan pencabulan. Di DIY sudah ada FPKK (Forum Perlindungan korban Kekerasan) yang merupakan forum koordinasi perlindungan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang penanganannya dilakukan secara berjejaring. Maka jika terjadi kekerasan seksual, bisa segera bawa korban ke rumah sakit dan hubungi FPKK dan FPKK-lah yang akan menghubungi polisi. Lalu polisi akan memerintahkan untuk dilakukan visum. Dan biaya visum ini ditanggung pemerintah.

Sarasehan tersebut menghasilkan beberapa poin:
  • Persoalan kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas bukan hanya persoalan kaum disabilitas, namun adalah persoalan bersama, antara penyandang disabilitas, pemerintah, dan masyarakat
  • Perlu adanya rekonstruksi pola pikir masyarakat yang selama ini subordinatif
  • Perlu penyadaran yang terus-menerus terhadap perempuan disabilitas (karena seringkali perempuan disabilitas tidak tahu bahkan tidak sadar kalu dirinya menjadi korban)
  • Jika ada kasus kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas, perlu dilakukan pengawalan yang sungguh-sungguh, agar kasusnya tidak berhenti di jalan
  • Ada beberapa pekerjaan rumah yang perlu untuk ditindaklanjuti, yakni perlu adanya pelatihan terhadap penyidik terkait disabilitas termasuk cara komunikasi, perlu adanya sebuah hukum (regulasi) yang mengatur secara tegas tentang kekerasan terhadap disabilitas, dan juga perlu adanya saksi ahli yang benar-benar mengerti akan disabilitas.





P