Rabu, 06 Desember 2017

URGENSI PER-UU KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP DIFABEL



Oleh: Chaerizanisazi
Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Relawan Pendamping Difabel
Kekerasan adalah tindakan menyakiti dengan memberikan dampak negatif secara fisik maupun psikis terhadap korbannya, terlebih kekerasan juga rentan menimpa seorang difabel yang notabenenya menurut pemerintah mereka adalah salah satu kelompok penyandang masalah kesejahteraan sosial yang membutuhkan penanganan ekstra. Sehingga berlakunya hukum di Indonesia melalui aturan Undang-Undang diharapkan mampu memberikan pengadvokasian dan keadilan bagi korban kekerasan.
Tindak kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk kekerasan yang menjadi momok menakutkan bagi korbannya. munculnya tindak kekerasan seksual yang mayoritas dialami oleh korban ditengarai beberapa faktor, diantaranya korban dianggap lemah baik dari segi jasmani maupun rohani, sehingga memberikan peluang besar bagi pelaku untuk melakukan tindak kekerasan seksual.
Adapun bentuk dari kekerasan seksual adalah melakukan tindak pelecehan seksual dengan cara meraba, memberikan siulan, memberikan tontonan senonoh, hingga sampai tindak pemerkosaan terhadap korbannya (Rose Merry Indra Sari, dkk: 2009). Menurut komnas HAM pada tahun 2016 tercatat 11.207 kasus kekerasan seksual di Indonesia, berbeda dari tahun sebelumnya di tahun 2015 komnas HAM mencatat ada sekitar 6.449 kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia, hal tersebut membuktikan adanya peningkatan kasus kekerasan seksual yang marak terjadi disekitar kita. Bagi kelompok difabel  atau penyandang disabilitas khususnya perempuan difabel, mereka juga rentan  mengalami tindak kekerasan karena stereotipe difabilitas yang mereka alami atau dianggap sebagai orang yang lemah baik secara fisik ataupun psikis.
Di Indonesia sendiri data statistik menunjukkan 35% kasus kekerasan telah menimpa perempuan difabel, hal tersebut menginterpretasikan setiap tahunnya terdapat 1278 kasus kekerasan yang menimpa perempuan difabel yang jika dipresentasekan hampir  setiap harinya terjadi sekitar 3-4 kasus kekerasan terhadap perempuan difabel.( Saktya Rini Hastuti: 2016).
Belum lama ini tepat di akhir bulan November 2017 di kota Maros, Sulawesi Selatan muncul kabar kekerasan seksual yang dialami oleh seorang perempuan dengan keterbelakangan mental (kategori difabel tuna grahita). Pelaku tidak lain merupakan Ayah korban yang telah melakukan pemerkosaan terhadap anak kandungnya sendiri, sebut saja Mawar ia mengalami tindak kekerasan seksual oleh Ayah kandungnya sudah berkisar 9 tahun, artinya tindak kekerasan sudah terpaut lama dan baru terungkap di tahun ini. Tindak kekerasan yang dilakukan pelaku terhadap anak kandungnya dapat diistilahkan sebagai hubungan Incest atau Hubungan intim sedarah yang merupakan perbuatan menyimpang dalam norma dan nilai sosial masyarakat baik dari segi keyakinan ataupun aturan hukum yang berlaku.di Indonesia. Adapun fakta lain pada awal bulan Januari 2017 telah terjadi pemerkosaaan terhadap bocah tuna rungu di salah satu pasar yang berada di kota Makassar(Ifan Ahmad:2017), dan ditambah lagi pemberitaan dari salah satu media online mengungkapkan bahwa pada bulan Februari 2017  di Soppeng kasus kekerasan seksual juga dialami oleh difabel Tuna grahita, selain itu kekerasan seksual juga menimpa seorang perempuan Tuna rungu pada bulan Maret 2017 tepatnya di salah satu lokasi kabupaten Bulukumba (Ishak salim:2017).
Dampak Bagi Korban
Adanya fakta-fakta tersebut, membuktikan bahwa pemerintah dan masyarakat perlu cepat tanggap dalam memandang isu kekerasan seksual yang semakin hari mengalami peningkatan, parahnya lagi yang membuat miris ketika kekerasan seksual tersebut dialami oleh seorang difabel, sangat tampak difabilitas merupakan kelemahan yang dapat dimanfaatkan pelaku. Sehingga tidak dapat terbantahkan tindakan kekerasan seksual terhadap korban dapat berdampak negative pada keadaan Psikis dan Fsik korban.
Secara fisik tentunya korban mengalami luka pada bagian tertentu yang dimanfaatkan pelaku sebagai pemuas nafsunya, sedangkan dari segi Psikis adanya tekanan secara psikologis (trauma) yang dialami korban, hal bisa saja berdampak pada penurunan Self esteem atau menurunnya penghargaan diri pada korban karena disebabkan oleh rasa malu yang menjadikan korban sulit untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, sehingga korban pun berpeluang untuk mendapatkan tindak diskriminasi dari lingkungannya. Hal tersebut tidak serta merta sebagai suatu persepsi, beberapa waktu lalu penulis berada pada suatu lokasi dikota di Jogja, di lokasi tersebut merupakan kampung dari seorang difabel tuna grahita yang telah menjadi korban kekerasan seksual oleh pamannya hingga ia pun hamil. Menurut keluarga korban dikampugnya tersebut masyarakat atau tetangga sekitar bersikap apatis bahkan mendiskriminasi korban, korban dianggap bersalah karena tidak mampu untuk menjaga diri, padahal korban merupakan seorang difabel yang mengalami keterbelakangan mental,seharusnya masyarakat disekitar lingkungannya dapat memberikan motivasi setidaknya masyarakat lebih peduli dan tidak memunculkan prasangka negative terhadap korban.
UU Besifat Krusial
Selama ini untuk kasus kekerasan seksual hanya di dukung dengan UU Perlindungan anak No. 23 Tahun 2002 dan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) yang secara eksplisit pada pasal 287 Ayat 1, dan pasal 291, 292 hanya menjelaskan tingkat pelanggaran ringan hingga berat yang dilakukan pelaku, bukan menjelaskan tentang proses penyembuhan (Trauma Healing)  secara khusus untuk korban. Sedangkan upaya pemerintah dalam penanganan permasalahan difabel dengan memberlakukan UU RI No.8 Tahun 2016 Tentang penyandang disabilitas dirasa belum cukup mengadvokasi para korban difabel yang mengalami tindak kekerasan seksual, dikarenakan pada Bab III Pasal 26 bagian 22 dan Pasal 128 Bagian 19 Ayat 1 mengungkapkan “Pemerintah menfasilitasi penyandang disabilitas untuk bersosialisasi dan berinteraksi…” dan pada Ayat 2 “..Pemerintah Daerah wajib menjamin penyandang disabilitas bebas dari segala bentuk kekerasan fisik, psikis ekonomi dan seksual.” Akan tetapi aturan tersebut tidak menjelaskan secara runtut terkait intervensi yang akan dilakukan pemerintah, hal ini begitu penting untuk mengetahui apa saja yang dibutuhkan korban dalam proses pemulihan sehingga korban sacara pasti dapat dinyatakan pulih. 
Jika pemerintah menilik kembali pada UU No 19 Tahun 2011 tentang pengesahan Convention on the Rights of persons with Disabilities (Konvensi hak-hak penyandang disabilitas) merupakan suatu entitas tindak advokasi sebagai jaminan pemerintah terhadap penanganan permasalahan difabel di Indonesia. Hal tersebut nyatanya tidak sebanding dengan usaha dan dukungan para pelopor dari bebagai kalangan, komunitas, maupun organisasi dalam mendukung aturan UU kekerasan seksual. Sebagaimana upaya komunitas Pergerakan Difabel Indonesia Untuk Kesetaraan (PERDIK) dalam memandang isu terkait kekerasan seksual terhadap difabel atau disabilitas, pergerakan komunitas ini mengharapkan pemerintah lebih peka terhadap kesetaraan dan keadilan untuk menegakkan hak-hak bagi difabel. Tidak hanya itu aksi Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI) untuk mengawasi kinerja DPR dalam mengawali pembahasan terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) penghapusan kekerasan seksual juga menjadi tendensi bagi DPR saat itu, hal ini menjadi bukti urgensi untuk pembelakuan UU kekerasan seksual di Negara Indonesia. Pemerintah memang perlu memunculkan semangat aksentuasi dan akselerasi, sehingga dalam proses pembahasan RUU kekerasan seksual terhadap difabel dapat menjadi salah satu prioritas yang tidak terkesan alot.
Dengan berlakunya Peraturan UU kekerasan seksual terhadap difabel diharapkan dapat memberikan efek jera khususnya bagi pelaku kekerasan, karena acap kali jika tak ada payung hukum yang sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan para pelaku, maka akan sulit untuk menetapkan sanksi atau hukuman bagi pelaku hingga menjadi sangat riskan terjadinya sikap residivis pada pelaku, yaitu kejahatan yang mungkin saja kembali terulang ataupun menimbulkan korban baru. Adapun bagi masyarakat pentingnya Per-UU kekerasan seksual terhadap difabel juga diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran masyarakat agar dapat mengurangi sikap diskriminasi terhadap korban (blaming the victim).
Upaya Penanganan Solutif
Inilah saatnya pemerintah dan masyarakat perlu berkontemplasi terhadap tindak kekerasan seksual yang semakin marak, dalam arti kata kebijakan saat ini belum dapat dikategorikan bersifat inklusif terhadap difabel, sehingga memang perlu untuk meratifikasi RUU kekerasan seksual terhadap difabel, karena tentunya setiap korban memerlukan hak legitimasi dalam pembelaannya maka pemerintah memerlukan pengelaborasian RUU kekerasan seksual dengan berkordinasi bersama para stakeholder maupun beberapa pihak atau kelompok guna mengadakan proses pemenuhan hak dan advokasi terhadap korban kekerasan seksual melalui RUU tersebut. Melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) kekerasan seksual terhadap difabel, pemerintah dan masyarakat dapat melakukan upaya deteksi dini untuk mengetahui faktor penyebab utama timbulnya tindak kekerasan seksual terhadap difabel, Sehingga pada proses  pengadvokasian  RUU tersebut  senantiasa membentuk pola yang bersifat preventif  dan persuasive pada masyarakat, sikap preventif menyadarkan masyarakat akan pentingnya wajib lapor kepada pemerintah daerah setempat, badan hukum ataupun pihak berwajib  ketika ada korban disekitar yang terindikasi atau riskan  mengalami tindak kekerasan seksual. Adapun upaya persuasive untuk masyarakat  perlu adanya sosialisasi secara efektif dari pemerintah, komunitas, ataupun organisasi yang berkompeten memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait dampak negatif dari tindak kekerasan seksual terhadap difabel, hal tersebut bertujuan mereduksi kembali  sikap ekslusif, subordinasi (hal yang tidak menjadi prioritas), serta sikap stereotipe masyarakat yang memandang kekerasan merupakan hal yang wajar dialami oleh difabel karena kelemahan atau difabilitasnya.
Untuk membentuk upaya-upaya penanganan solutif dalam meningkatkan peran pemerintah dan masyarakat terkait implementasi kebijakan RUU tersebut, tentunya memerlukan tahap awal engagement, yaitu pendekatan awal dengan memperkenalkan bentuk kekerasan dan dampak yang akan ditimbulkan, kemudian tahap intervensi berbasis komunikatif sebagai bentuk lanjutan pendekatan awal, yaitu upaya untuk memahami lingkungan  korban dan kebutuhan dari korban itu sendiri, sehingga ketika RUU kekerasan seksual terhadap difabel disahkan pada setiap poinnya tidak hanya sekedar tulisan kata yang dapat berlaku, tetapi  juga implementasi kebijakan dari setiap poin aturan UU yang tertulis tersebut dapat dijalankan secara maksimal dan parenial.





Tidak ada komentar: