Oleh: Chaerizanisazi
Alumni UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta dan Relawan Pendamping Difabel
Kekerasan
adalah tindakan menyakiti dengan memberikan dampak negatif secara fisik maupun
psikis terhadap korbannya, terlebih kekerasan juga rentan menimpa seorang
difabel yang notabenenya menurut pemerintah mereka adalah salah satu kelompok
penyandang masalah kesejahteraan sosial yang membutuhkan penanganan ekstra.
Sehingga berlakunya hukum di Indonesia melalui aturan Undang-Undang diharapkan
mampu memberikan pengadvokasian dan keadilan bagi korban kekerasan.
Tindak kekerasan
seksual merupakan salah satu bentuk kekerasan yang menjadi momok menakutkan
bagi korbannya. munculnya tindak kekerasan seksual yang mayoritas dialami oleh
korban ditengarai beberapa faktor, diantaranya korban dianggap lemah baik dari
segi jasmani maupun rohani, sehingga memberikan peluang besar bagi pelaku untuk
melakukan tindak kekerasan seksual.
Adapun bentuk dari
kekerasan seksual adalah melakukan tindak pelecehan seksual dengan cara meraba,
memberikan siulan, memberikan tontonan senonoh, hingga sampai tindak
pemerkosaan terhadap korbannya (Rose Merry Indra Sari, dkk: 2009). Menurut
komnas HAM pada tahun 2016 tercatat 11.207 kasus kekerasan seksual di
Indonesia, berbeda dari tahun sebelumnya di tahun 2015 komnas HAM mencatat ada
sekitar 6.449 kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia, hal tersebut
membuktikan adanya peningkatan kasus kekerasan seksual yang marak terjadi
disekitar kita. Bagi kelompok difabel
atau penyandang disabilitas khususnya perempuan difabel, mereka juga
rentan mengalami tindak kekerasan karena
stereotipe difabilitas yang mereka alami atau dianggap sebagai orang yang lemah
baik secara fisik ataupun psikis.
Di Indonesia sendiri
data statistik menunjukkan 35% kasus kekerasan telah menimpa perempuan difabel,
hal tersebut menginterpretasikan setiap tahunnya terdapat 1278 kasus kekerasan
yang menimpa perempuan difabel yang jika dipresentasekan hampir setiap harinya terjadi sekitar 3-4 kasus
kekerasan terhadap perempuan difabel.( Saktya Rini Hastuti: 2016).
Belum lama
ini tepat di akhir bulan November 2017 di kota Maros, Sulawesi Selatan muncul
kabar kekerasan seksual yang dialami oleh seorang perempuan dengan
keterbelakangan mental (kategori difabel tuna grahita). Pelaku tidak lain
merupakan Ayah korban yang telah melakukan pemerkosaan terhadap anak kandungnya
sendiri, sebut saja Mawar ia mengalami tindak kekerasan seksual oleh Ayah
kandungnya sudah berkisar 9 tahun, artinya tindak kekerasan sudah terpaut lama
dan baru terungkap di tahun ini. Tindak kekerasan yang dilakukan pelaku
terhadap anak kandungnya dapat diistilahkan sebagai hubungan Incest atau Hubungan intim sedarah yang
merupakan perbuatan menyimpang dalam norma dan nilai sosial masyarakat baik
dari segi keyakinan ataupun aturan hukum yang berlaku.di Indonesia. Adapun
fakta lain pada awal bulan Januari 2017 telah terjadi pemerkosaaan terhadap
bocah tuna rungu di salah satu pasar yang berada di kota Makassar(Ifan Ahmad:2017),
dan ditambah lagi pemberitaan dari salah satu media online mengungkapkan bahwa
pada bulan Februari 2017 di Soppeng
kasus kekerasan seksual juga dialami oleh difabel Tuna grahita, selain itu
kekerasan seksual juga menimpa seorang perempuan Tuna rungu pada bulan Maret
2017 tepatnya di salah satu lokasi kabupaten Bulukumba (Ishak salim:2017).
Dampak Bagi Korban
Adanya
fakta-fakta tersebut, membuktikan bahwa pemerintah dan masyarakat perlu cepat
tanggap dalam memandang isu kekerasan seksual yang semakin hari mengalami
peningkatan, parahnya lagi yang membuat miris ketika kekerasan seksual tersebut
dialami oleh seorang difabel, sangat tampak difabilitas merupakan kelemahan
yang dapat dimanfaatkan pelaku. Sehingga tidak dapat terbantahkan tindakan
kekerasan seksual terhadap korban dapat berdampak negative pada keadaan Psikis
dan Fsik korban.
Secara
fisik tentunya korban mengalami luka pada bagian tertentu yang dimanfaatkan
pelaku sebagai pemuas nafsunya, sedangkan dari segi Psikis adanya tekanan
secara psikologis (trauma) yang dialami korban, hal bisa saja berdampak pada
penurunan Self esteem atau menurunnya
penghargaan diri pada korban karena disebabkan oleh rasa malu yang menjadikan
korban sulit untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, sehingga korban
pun berpeluang untuk mendapatkan tindak diskriminasi dari lingkungannya. Hal
tersebut tidak serta merta sebagai suatu persepsi, beberapa waktu lalu penulis
berada pada suatu lokasi dikota di Jogja, di lokasi tersebut merupakan kampung
dari seorang difabel tuna grahita yang telah menjadi korban kekerasan seksual
oleh pamannya hingga ia pun hamil. Menurut keluarga korban dikampugnya tersebut
masyarakat atau tetangga sekitar bersikap apatis bahkan mendiskriminasi korban,
korban dianggap bersalah karena tidak mampu untuk menjaga diri, padahal korban
merupakan seorang difabel yang mengalami keterbelakangan mental,seharusnya
masyarakat disekitar lingkungannya dapat memberikan motivasi setidaknya
masyarakat lebih peduli dan tidak memunculkan prasangka negative terhadap
korban.
UU Besifat Krusial
Selama ini untuk kasus
kekerasan seksual hanya di dukung dengan UU Perlindungan anak No. 23 Tahun 2002
dan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) yang secara eksplisit pada pasal
287 Ayat 1, dan pasal 291, 292 hanya menjelaskan tingkat pelanggaran ringan
hingga berat yang dilakukan pelaku, bukan menjelaskan tentang proses
penyembuhan (Trauma Healing) secara khusus untuk korban. Sedangkan upaya
pemerintah dalam penanganan permasalahan difabel dengan memberlakukan UU RI
No.8 Tahun 2016 Tentang penyandang disabilitas dirasa belum cukup mengadvokasi
para korban difabel yang mengalami tindak kekerasan seksual, dikarenakan pada
Bab III Pasal 26 bagian 22 dan Pasal 128 Bagian 19 Ayat 1 mengungkapkan “Pemerintah menfasilitasi penyandang
disabilitas untuk bersosialisasi dan berinteraksi…” dan pada Ayat 2 “..Pemerintah Daerah wajib menjamin
penyandang disabilitas bebas dari segala bentuk kekerasan fisik, psikis ekonomi dan seksual.” Akan tetapi aturan tersebut tidak menjelaskan secara
runtut terkait intervensi yang akan dilakukan pemerintah, hal ini begitu
penting untuk mengetahui apa saja yang dibutuhkan korban dalam proses pemulihan
sehingga korban sacara pasti dapat dinyatakan pulih.
Jika pemerintah menilik
kembali pada UU No 19 Tahun 2011 tentang pengesahan Convention on the Rights of persons with Disabilities (Konvensi
hak-hak penyandang disabilitas) merupakan suatu entitas tindak advokasi sebagai
jaminan pemerintah terhadap penanganan permasalahan difabel di Indonesia. Hal
tersebut nyatanya tidak sebanding dengan usaha dan dukungan para pelopor dari
bebagai kalangan, komunitas, maupun organisasi dalam mendukung aturan UU
kekerasan seksual. Sebagaimana upaya komunitas Pergerakan Difabel Indonesia
Untuk Kesetaraan (PERDIK) dalam memandang isu terkait kekerasan seksual
terhadap difabel atau disabilitas, pergerakan komunitas ini mengharapkan
pemerintah lebih peka terhadap kesetaraan dan keadilan untuk menegakkan hak-hak
bagi difabel. Tidak hanya itu aksi Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia
(KPPRI) untuk mengawasi kinerja DPR dalam mengawali pembahasan terkait
Rancangan Undang-Undang (RUU) penghapusan kekerasan seksual juga menjadi
tendensi bagi DPR saat itu, hal ini menjadi bukti urgensi untuk pembelakuan UU
kekerasan seksual di Negara Indonesia. Pemerintah memang perlu memunculkan
semangat aksentuasi dan akselerasi, sehingga dalam proses pembahasan RUU
kekerasan seksual terhadap difabel dapat menjadi salah satu prioritas yang
tidak terkesan alot.
Dengan berlakunya
Peraturan UU kekerasan seksual terhadap difabel diharapkan dapat memberikan
efek jera khususnya bagi pelaku kekerasan, karena acap kali jika tak ada payung
hukum yang sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan para pelaku, maka akan
sulit untuk menetapkan sanksi atau hukuman bagi pelaku hingga menjadi sangat
riskan terjadinya sikap residivis pada pelaku, yaitu kejahatan yang mungkin
saja kembali terulang ataupun menimbulkan korban baru. Adapun
bagi masyarakat pentingnya Per-UU kekerasan seksual terhadap difabel juga
diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran masyarakat agar dapat mengurangi sikap
diskriminasi terhadap korban (blaming the
victim).
Upaya
Penanganan Solutif
Inilah
saatnya pemerintah dan masyarakat perlu berkontemplasi terhadap tindak
kekerasan seksual yang semakin marak, dalam arti kata kebijakan saat ini belum
dapat dikategorikan bersifat inklusif terhadap difabel, sehingga memang perlu
untuk meratifikasi RUU kekerasan seksual terhadap difabel, karena tentunya
setiap korban memerlukan hak legitimasi dalam pembelaannya maka pemerintah
memerlukan pengelaborasian RUU kekerasan seksual dengan berkordinasi bersama
para stakeholder maupun beberapa
pihak atau kelompok guna mengadakan proses pemenuhan hak dan advokasi terhadap
korban kekerasan seksual melalui RUU tersebut. Melalui
Rancangan Undang-Undang (RUU) kekerasan seksual terhadap difabel, pemerintah
dan masyarakat dapat melakukan upaya deteksi dini untuk mengetahui faktor
penyebab utama timbulnya tindak kekerasan seksual terhadap difabel, Sehingga
pada proses pengadvokasian RUU tersebut
senantiasa membentuk pola yang bersifat preventif dan persuasive pada masyarakat, sikap
preventif menyadarkan masyarakat akan pentingnya wajib lapor kepada pemerintah
daerah setempat, badan hukum ataupun pihak berwajib ketika ada korban disekitar yang terindikasi
atau riskan mengalami tindak kekerasan
seksual. Adapun upaya persuasive untuk masyarakat perlu adanya sosialisasi secara efektif dari
pemerintah, komunitas, ataupun organisasi yang berkompeten memberikan pemahaman
kepada masyarakat terkait dampak negatif dari tindak kekerasan seksual terhadap
difabel, hal tersebut bertujuan mereduksi kembali sikap ekslusif, subordinasi (hal yang tidak
menjadi prioritas), serta sikap stereotipe masyarakat yang memandang kekerasan
merupakan hal yang wajar dialami oleh difabel karena kelemahan atau
difabilitasnya.
Untuk membentuk
upaya-upaya penanganan solutif dalam meningkatkan peran pemerintah dan
masyarakat terkait implementasi kebijakan RUU tersebut, tentunya memerlukan
tahap awal engagement, yaitu
pendekatan awal dengan memperkenalkan bentuk kekerasan dan dampak yang akan
ditimbulkan, kemudian tahap intervensi berbasis
komunikatif sebagai bentuk lanjutan pendekatan awal, yaitu upaya untuk memahami
lingkungan korban dan kebutuhan dari
korban itu sendiri, sehingga ketika RUU kekerasan seksual terhadap difabel
disahkan pada setiap poinnya tidak hanya sekedar tulisan kata yang dapat
berlaku, tetapi juga implementasi
kebijakan dari setiap poin aturan UU yang tertulis tersebut dapat dijalankan
secara maksimal dan parenial.