Jumat, 12 Mei 2017

workshop Media dan Difabel



Media dan Disabiltas Dari Charity Objek Menuju Partisipasi Dalam Pemenuhan Hak

  
”Kita ini masih dalam masa transisi bagaimana melihat disabilitas dari charity  objek menjadi full participation. Transisi  ini tidak mudah, lebih dari 30 tahun kita  sebagai charity objek (objek yang harus dikasihani, diolok-olok) mengalami itu.  Kita ingin mendorong pada full partipasi,  gesekan itu pasti ada. Ini salah satu cara kami mengajak media bagaimana membantu memindahkan dari charity objek menjadi full partisipasi sebagai hak asasi,”tutur Anggiasari Puji Aryatie, pembicara  dari Handicap International saat diskusi workshop media dan difabel di kampus FISIP Universitas Atmajaya Yogyakarta, (6/5). 

Diskusi diselenggarakan kerjasama Handicap International, Forum Studi Komunikasi (FSK) program studi Ilmu Komunikasi  FISIP Universitas Atmajaya dan Center for Improving Qualified Activity In Live of People with Disabilities (CIQAL) ini juga mengadirkan pembicara dari CIQAL Suryatiningsih Budi Lestari dan  ketua FSK, Lukas S.Ispandriarno. Workshop ini dihadiri  oleh praktisi media, mahasiswa dan anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Yogyakarta.  

Sebelumnya UU no 4 tahun 1997 tentang penyandang disabilitas mempunyai paradigma   menempatkan  penyandang disabiltas sebagai  Charity objek, bersifat belas kasihan. Pemenuhan  haknya masih meliputi  jaminan sosial, rehabilitasi sosial dan peningkatan kesejahteraan sosial.  Sedangkan undang-undang terbaru,  UU no 8 tahun 2016  dasarnya adalah Hak Asasi Manusia dengan  menempatkan penyandang disabilitas sebagai individu  yang  mempunyai kedudukan yang sama,   memiliki hak dan kewajiban.  Dan berkesempatan yang sama dalam upaya mengembangkan dirinya, mandiri sebagai manusia yang bermartabat.  

Tidak mudah menggeser persfektif  yang sudah dan turun temurun  di masyarakat.  Stigma cacat, tidak normal,  selama ini   tidak menguntungkan bagi penyandang disabilitas.  Perlakuan berbeda,   diskriminasi kerap didapatkan oleh penyandang disabilitas dalam segala aspek sosial seperti    pendidikan dan lapangan pekerjaan yang layak.  Karena mereka  dianggap  tidak berguna dan tidak memiliki kemampuan .  Sehingga sering tidak ada pilihan lagi buat mereka kecuali mendapat belas kasihan orang lain.  Gambaran tentang penyandang disabilitas dalam media mainstream selama ini pun belum membantu mengubah persfektif penyandang disabilitas sebagai individu yang memliki peran, hak dan kewajiban yang sama dengan yang lain (non disabilitas).

Menurut  Direktur CIQAL Suryatiningsih Budi Lestari atau  biasa disapa Nuning,  ada tiga cara yang mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap penyandang disabilitas selama ini. Yaitu; pandangan dengan kesadaran magis, naif dan kritis. Pada kesadaran magis, masalah terletak pada individu bukan orang lain, dan disarankan untuk menerima kenyataan. Penyandang disabilitas perlu dikasihani dan disantuni. Dampaknya selalu bergantung kepada orang lain, mengemis agar dikasihani. Pada pandangan kesadaran naif, individu harus direhabilitasi dan diarahkan pada harapan normalkan. Pendidikan masih dikhususkan. Dampaknya,  disabilitas terdiskriminasi dan tersubordinasi dalam berbagai aspek kehidupan dan menjadi sub kultur. 

Terakhir adalah cara pandang kritis, melihat permasalahan bukan terletak pada individu, tetapi lingkungan sosial yang tidak memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas. Rehabilitasi dan alat bantu yang bertujuan bukan menormalkan tetapi mengembangkan potensi untuk aktualisasi. Adanya upaya aksesbilitas fisik dan non fisik.  Pendidikan dan pelatihan secara inklusif. Menghilangkan  streotip negatif  terhadap disabilitas.  Dampaknya terwujudnya kehidupan yang inklusi ; disabilitas mempunyai kapabilitas, Masyarakat dapat menerima disabilitas, didukung dengan ruang publik yang aksesibel kebijakan yang berbasisi Hak Asasi Manusia.

Mengapa  isu penyandang disabilitas jarang dimunculkan di media? Pertanyaan itu muncul dalam peserta  diskusi  workshop ini.  Ada yang mengatakan isu disabilitas kurang seksi atau tidak menjual karena 75% konten media mainstream  adalah marketing.  Ada pula yang beranggapan bahwa para jurnalis kurang memahami tentang wacana dan isu  apa yang akan diangkat dalam tema disabilitias.  Dan bagaimana evaluasi sekolah inklusi yang sudah berjalan ini? Lalu apakah ada etika yang yang harus dilakukan  ketika akan melakukan sebuah riset atau wawancara dengan penyandang disabilitas.

Diakui oleh Nuning, partisipasi penyandang disabiltas belum dibuka sepenuhnya, meskipun sudah  berpartisipasi dan terlibat dalam mengkritisi kebijakan negara. “Kami sudah aktif untuk muncul partisiapasi merubah paradigma. Ketika di desa partispasi untuk terlibat musrembang misalnya, mengenai keterlibatan cukup dihadirkan, pendapat kita belum diakomodir. Seolah-olah kalau mengundang sudah selesai. Partisipasi yang belum penuh ini, makanya belum banyak yang kenal. Bagaimana kita mau mengekspos, mau diliput,”ujar Nuning.  Selain itu isu disabilitas belum dianggap menjadi masalah sosial.  

Sudah banyak media yang  memuat kisah atau potret penyandang disabilitas. Barangkali kita pernah melihat  potret  penyadandang disabilitas  yang berprestasi  diangkat  di televisi dan membuat kita  terenyuh. Karena ditampilkan dengan kekurangan yang dimilikinya. Bagi pemirasa televisi mungkin potret keseharian penyadang disabilitas dengan segala keterbatasan yang dimiliki oleh seorang  disabilitas bisa menjadi inspirasi. Sebetulnya sah-sah saja, media memunculkan sosok penyandang disabilitas sebagai inspiratif. Tetapi terkadang kita terjebak pada “streotif dan penstandaran   orang untuk melihat lebih. Bahwa orang penyandang disabilitas harus berprestasi.  Masyarakat sering   terjebak melihatnya. Penyadang  disabilitas bagus bukan karena prestasinya, tetapi karena  disabilitasnya. “Jangan terjebak pada penstandaran. Orang dengan disabilitas dengan orang  mendapatkan pekerjaan yang diinginkan itu sulit. Dulu saya mau jadi dokter, ketika remaja hilang semuanya mana mungkin.  Padalah di Amerika sudah ada orang seperti saya yang menjadi dokter anak,” ujar Anggi.  

Dalam riset yang dipaparkan oleh Lukas S. Ispandriarno  tentang bagaimana media memandang  penyandang disabilitas terutama perempuan disabilitas antara lain;  Di sinetron remaja, eksploitasi kekurangan fisik,  penyandang disabilitas mental digambarkan menjijikan, jarang membuat keuntungan dan membuat takut. Media tidak memotret sakit mental secara positif atau produktif sehingga memberi manfaat bagi masyarakat. Media cenderung melihat orang dengan disabilitas sebagai tidak memiliki tubuh ideal. Ketidakadilan jender menimpa perempuan penyandang cacat karena mereka terpinggirkan dalam semua aspek kehidupan seperti akses  informasi, pendidikan, pekerjaan dan kesehatan

Selama ini   media yang belum memahami masalah  dialami oleh para penyandang disabilitas secara kompleks. Dari  pengetahuan pemahaman  yang benar tentang konsep persepsi penyandang disabilitas, aksesibilitasnya, kebutuhannya  juga etika ketika berhadapan dengan orang disabilitas. Seperti istilah menggunakan kata penyandang cacat yang sudah tidak sesuai dengan semangat  UU no 19 tahun 2011 dan UU no 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. Dan perubahan makna dari penyebutan tuna rungu  diubah menjadi kata Tuli.  Tuna rungu dianggap ketidak mampu mendengar dan rusak pendengarannya.  Sementara kawan-kawan Tuli bisa membaca lewat visual dan berinteraksi dengan menggunakan bahasa isyarat.

Kita sepakat era digital dapat merubah cara dan prilaku orang dalam mengakses informasi.  Peran media mainstream maupun media sosial sangat penting membantu  membangun kesadaran baru dalam mengubah cara pandang masyarakat terhadap kelompok disabilitas. Karena semangat  UU yang baru memberikan peluang yang sama dan hak yang sama kedudukanya sebagai warga negara.  Sehingga transisi disabilitas dari charity objek menuju individu  berpatisipasi dalam segala aspek kehidupan tanpa diskriminasi. 




Tidak ada komentar: