Media dan Disabiltas Dari Charity Objek
Menuju Partisipasi Dalam Pemenuhan Hak
”Kita ini masih dalam masa transisi bagaimana melihat disabilitas dari charity objek menjadi full participation. Transisi ini tidak mudah, lebih dari 30 tahun kita sebagai charity objek (objek yang harus dikasihani, diolok-olok) mengalami itu. Kita ingin mendorong pada full partipasi, gesekan itu pasti ada. Ini salah satu cara kami mengajak media bagaimana membantu memindahkan dari charity objek menjadi full partisipasi sebagai hak asasi,”tutur Anggiasari Puji Aryatie, pembicara dari Handicap International saat diskusi workshop media dan difabel di kampus FISIP Universitas Atmajaya Yogyakarta, (6/5).
Diskusi diselenggarakan kerjasama Handicap
International, Forum Studi Komunikasi (FSK) program studi Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Atmajaya dan Center for Improving Qualified Activity In Live of
People with Disabilities (CIQAL) ini juga mengadirkan pembicara dari CIQAL Suryatiningsih
Budi Lestari dan ketua FSK, Lukas S.Ispandriarno. Workshop ini
dihadiri oleh praktisi media, mahasiswa dan anggota Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) Yogyakarta.
Sebelumnya UU no 4 tahun 1997 tentang
penyandang disabilitas mempunyai paradigma menempatkan penyandang
disabiltas sebagai Charity objek, bersifat belas kasihan.
Pemenuhan haknya masih meliputi jaminan sosial,
rehabilitasi sosial dan peningkatan kesejahteraan sosial. Sedangkan
undang-undang terbaru, UU no 8 tahun 2016 dasarnya adalah
Hak Asasi Manusia dengan menempatkan penyandang disabilitas sebagai
individu yang mempunyai kedudukan yang sama, memiliki
hak dan kewajiban. Dan berkesempatan yang sama dalam upaya
mengembangkan dirinya, mandiri sebagai manusia yang bermartabat.
Tidak mudah menggeser persfektif yang
sudah dan turun temurun di masyarakat. Stigma cacat,
tidak normal, selama ini tidak menguntungkan bagi
penyandang disabilitas. Perlakuan berbeda, diskriminasi
kerap didapatkan oleh penyandang disabilitas dalam segala aspek sosial seperti pendidikan
dan lapangan pekerjaan yang layak. Karena mereka dianggap tidak
berguna dan tidak memiliki kemampuan . Sehingga sering tidak ada
pilihan lagi buat mereka kecuali mendapat belas kasihan orang lain. Gambaran tentang penyandang disabilitas dalam
media mainstream selama ini pun belum membantu mengubah persfektif penyandang
disabilitas sebagai individu yang memliki peran, hak dan kewajiban yang sama
dengan yang lain (non disabilitas).
Menurut Direktur CIQAL
Suryatiningsih Budi Lestari atau biasa disapa Nuning, ada
tiga cara yang mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap penyandang
disabilitas selama ini. Yaitu; pandangan dengan kesadaran magis, naif dan
kritis. Pada kesadaran magis, masalah terletak pada individu bukan orang lain,
dan disarankan untuk menerima kenyataan. Penyandang disabilitas perlu
dikasihani dan disantuni. Dampaknya selalu bergantung kepada orang lain,
mengemis agar dikasihani. Pada pandangan kesadaran naif, individu harus direhabilitasi
dan diarahkan pada harapan normalkan. Pendidikan masih dikhususkan. Dampaknya, disabilitas
terdiskriminasi dan tersubordinasi dalam berbagai aspek kehidupan dan menjadi
sub kultur.
Terakhir adalah cara pandang kritis,
melihat permasalahan bukan terletak pada individu, tetapi lingkungan sosial
yang tidak memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas. Rehabilitasi dan alat
bantu yang bertujuan bukan menormalkan tetapi mengembangkan potensi untuk
aktualisasi. Adanya upaya aksesbilitas fisik dan non fisik. Pendidikan
dan pelatihan secara inklusif. Menghilangkan streotip negatif terhadap
disabilitas. Dampaknya terwujudnya kehidupan yang inklusi ;
disabilitas mempunyai kapabilitas, Masyarakat dapat menerima disabilitas,
didukung dengan ruang publik yang aksesibel kebijakan yang berbasisi Hak Asasi
Manusia.
Mengapa isu penyandang
disabilitas jarang dimunculkan di media? Pertanyaan itu muncul dalam peserta diskusi workshop
ini. Ada yang mengatakan isu disabilitas kurang seksi atau tidak
menjual karena 75% konten media mainstream adalah marketing. Ada
pula yang beranggapan bahwa para jurnalis kurang memahami tentang wacana dan
isu apa yang akan diangkat dalam tema disabilitias. Dan
bagaimana evaluasi sekolah inklusi yang sudah berjalan ini? Lalu apakah ada
etika yang yang harus dilakukan ketika akan melakukan sebuah riset
atau wawancara dengan penyandang disabilitas.
Diakui oleh Nuning, partisipasi penyandang
disabiltas belum dibuka sepenuhnya, meskipun sudah berpartisipasi
dan terlibat dalam mengkritisi kebijakan negara. “Kami sudah aktif untuk muncul
partisiapasi merubah paradigma. Ketika di desa partispasi untuk terlibat
musrembang misalnya, mengenai keterlibatan cukup dihadirkan, pendapat kita
belum diakomodir. Seolah-olah kalau mengundang sudah selesai. Partisipasi yang
belum penuh ini, makanya belum banyak yang kenal. Bagaimana kita mau
mengekspos, mau diliput,”ujar Nuning. Selain itu isu disabilitas
belum dianggap menjadi masalah sosial.
Sudah banyak media yang memuat kisah
atau potret penyandang disabilitas. Barangkali kita pernah melihat potret penyadandang
disabilitas yang berprestasi diangkat di
televisi dan membuat kita terenyuh. Karena ditampilkan dengan
kekurangan yang dimilikinya. Bagi pemirasa televisi mungkin potret keseharian
penyadang disabilitas dengan segala keterbatasan yang dimiliki oleh seorang disabilitas
bisa menjadi inspirasi. Sebetulnya sah-sah saja, media memunculkan sosok
penyandang disabilitas sebagai inspiratif. Tetapi terkadang kita terjebak pada
“streotif dan penstandaran orang untuk melihat lebih. Bahwa
orang penyandang disabilitas harus berprestasi. Masyarakat sering terjebak
melihatnya. Penyadang disabilitas bagus bukan karena prestasinya,
tetapi karena disabilitasnya. “Jangan terjebak pada penstandaran.
Orang dengan disabilitas dengan orang mendapatkan pekerjaan yang
diinginkan itu sulit. Dulu saya mau jadi dokter, ketika remaja hilang semuanya
mana mungkin. Padalah di Amerika sudah ada orang seperti saya yang
menjadi dokter anak,” ujar Anggi.
Dalam riset yang dipaparkan oleh
Lukas S. Ispandriarno tentang bagaimana media
memandang penyandang disabilitas terutama perempuan disabilitas
antara lain; Di sinetron remaja, eksploitasi kekurangan fisik, penyandang
disabilitas mental digambarkan menjijikan, jarang membuat keuntungan dan
membuat takut. Media tidak memotret sakit mental secara positif atau produktif
sehingga memberi manfaat bagi masyarakat. Media cenderung melihat orang dengan
disabilitas sebagai tidak memiliki tubuh ideal. Ketidakadilan jender menimpa
perempuan penyandang cacat karena mereka terpinggirkan dalam semua aspek
kehidupan seperti akses informasi, pendidikan, pekerjaan dan
kesehatan.
Selama ini media yang belum memahami masalah dialami oleh para penyandang disabilitas secara kompleks. Dari pengetahuan pemahaman yang benar tentang konsep persepsi penyandang disabilitas, aksesibilitasnya, kebutuhannya juga etika ketika berhadapan dengan orang disabilitas. Seperti istilah menggunakan kata penyandang cacat yang sudah tidak sesuai dengan semangat UU no 19 tahun 2011 dan UU no 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. Dan perubahan makna dari penyebutan tuna rungu diubah menjadi kata Tuli. Tuna rungu dianggap ketidak mampu mendengar dan rusak pendengarannya. Sementara kawan-kawan Tuli bisa membaca lewat visual dan berinteraksi dengan menggunakan bahasa isyarat.
Selama ini media yang belum memahami masalah dialami oleh para penyandang disabilitas secara kompleks. Dari pengetahuan pemahaman yang benar tentang konsep persepsi penyandang disabilitas, aksesibilitasnya, kebutuhannya juga etika ketika berhadapan dengan orang disabilitas. Seperti istilah menggunakan kata penyandang cacat yang sudah tidak sesuai dengan semangat UU no 19 tahun 2011 dan UU no 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. Dan perubahan makna dari penyebutan tuna rungu diubah menjadi kata Tuli. Tuna rungu dianggap ketidak mampu mendengar dan rusak pendengarannya. Sementara kawan-kawan Tuli bisa membaca lewat visual dan berinteraksi dengan menggunakan bahasa isyarat.
Kita sepakat era digital dapat merubah
cara dan prilaku orang dalam mengakses informasi. Peran media mainstream
maupun media sosial sangat penting membantu membangun kesadaran baru dalam mengubah cara
pandang masyarakat terhadap kelompok disabilitas. Karena semangat UU
yang baru memberikan peluang yang sama dan hak yang sama kedudukanya sebagai
warga negara. Sehingga transisi disabilitas dari charity objek
menuju individu berpatisipasi dalam segala aspek kehidupan tanpa diskriminasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar